Adat Istiadat Jawa Timur

Adat Istiadat Jawa Timur – Jawa Timur atau lebih sering disingkat menjadi Jatim, adalah sebuah provinsi yang terletak di pulau Jawa. Ibukota untuk provinsi Jawa Timur adalah Kota Surabaya.

Wilayah Jawa Timur menjadi tempat tinggal beberapa suku yang sangat beragam. Mulai dari Suku Bali, Suku Madura, hingga Suku Batak pun juga dapat dijumpai di wilayah ini.

Setiap daerah di Indonesia memiliki adat istiadat masing-masing, termasuk Jawa Timur. Salah satu adat istiadat Jawa Timur yang populer adalah Tahlilan Kematian.

Dalam artikel kali ini saya akan membahas secara rinci terkait dengan adat istiadat milik masyarakat Jawa Timur. Simak hingga tuntas agar tidak salah paham ya.

1. Adat Istiadat & Tahlilan Kematian di Jawa Timur

Penduduk negara Indonesia mayoritas menganut agama Islam saat ini. Hal itu menjadikan banyak aspek kehidupan rakyat Indonesia memiliki nuansa Islami. Ya, meskipun tidak sedikit juga nonmuslim di negara ini.

Indonesia memiliki sebuah tradisi yang terkenal dengan Tahlilan. Dalam Islam, tahlil merupakan bacaan kalimat tauhid la ilaaha illallah yang artinya “tiada tuhan selain Allah”.

Kalimat tauhid ini biasa dilantunkan oleh rakyat Indonesia, khususnya suku Jawa dalam prosesi budaya Tahlilan sebagai bacaan zikir atau doa untuk orang yang telah meninggal dunia.

Tradisi ini terdiri dari pembacaan Al-Quran secara bersama, zikir bersama, dan doa-doa tertentu yang oleh pihak keluarga almarhum.

Acara ini merupakan peringatan pada hari ke-1, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, 1 tahunan, dan 3 tahun pasca kematian almarhum.

Sejarah mencatat bahwa tradisi ini diperkenalkan oleh Walisongo dalam rangka berdakwah agama Islam saat itu. Tradisi ini adalah perpaduan antara budaya Islam dan budaya Hindu.

Sebelum Walisongo menapakkan kaki di Nusantara, mayoritas masyarakat Jawa menganut agama Hindu karena pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu peguasa Pulau Jawa.

Nah, dalam ajaran Hindu, terdapat ritual penghormatan untuk orang yang meninggal pada peringatan hari ke-1, ke-3, ke-7, dan seterusnya. Dari sinilah sisi perpaduannya bertemu.

Walisongo menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa secara pelan-pelan karena masyarakat Jawa saat itu masih cenderung konservatif terhadap hal-hal baru.

Demi kelancaran dakwah Islam, Walisongo menyelipkan nilai-nilai Islam dalam ritual ini dengan meambahkan doa-doa menurut agama Islam.

Hebatnya, saat ini budaya tahlilan masih ada di masyarakat Islam Pulau Jawa. Namun demikian, terdapat beberapa kalangan tidak melakukannya dengan alasan tidak termasuk bagian dari syariat Islam.

2. Tradisi Larung Ari-Ari di Jawa Timur

Selanjutnya, yang kedua adalah tradisi Larung Ari-Ari. Ini merupakan upacara adat Jawa Timur dalam bentuk kegiatan melarung atau menghanyutkan ari-ari si jabang bayi.

Biasanya dalam tradisi ini ari-ari si bayi akan dilarung bersama dengan bunga 7 rupa, kendil, kain putih, dan jarum ke laut.

Selain itu, dalam tradisi ini juga terdapat proses menyanyikan tembang Macapat yaitu Dhandhang Gula. Usai acara melarung selesai maka panitia akan merayakan kelahiran si bayi dengan pesta meriah. Sebagian masyarakat masih membudayakan tradisi ini hingga sekarang.

3. Adat Ruwatan Masyarakat Jawa Timur

Ruwatan berasal dari kosakata bahasa Jawa, yaitu ruwat, yang berarti “membuang sial” atau “menyelamatkan orang dari gangguan tertentu”.

Bentuk gangguan tersebut bermacam-macam. Ada gangguan yang berupa kelainan dalam sebuah keluarga atau dalam diri seseorang.

Gangguan yang harus diruwat adalah perbuatan yang dapat menimbulkan sial, celaka, atau dampak sosial lainnya.

Pada pagelaran Pangruwatan Murwakala, biasanya terdapat pertunjukan wayang oleh dalang khusus yang memiliki kemampuan dalam bidang Ruwatan.

Pagelaran wayang merupakan acara yang sakral dan membutuhkan dana cukup banyak. Oleh karena itu, saat ini pelaksanaan Ruwatan dengan pagelaran wayang biasanya dilakukan dalam lingkup pedesaan atau dusun.

Dalam kepercayaan orang-orang Jawa, orang yang berada dalam kondisi <em>nandang sukerto </em>atau berada dalam dosa serta mengalami kesulitan batin, maka perlu mengadakan Ruwatan agar menjadi suci kembali.

4. Upacara Peningsetan di Jawa Timur

Peningsetan merupakan upacara adat Jawa Timur ketika seseorang melamar gadis di Kota Surabaya. Upacara yang satu ini merupakan rangkaian upacara Nakokake.

Setelah prosesi upacara Nakokake selesai dan hasilnya positif bahwa si gadis masih single, maka upacara Peningsetan akan segera digelar oleh pihak keluarga laki-laki dengan berkunjung ke pihak keluarga perempuan.

Peningsetan adalah proses ramah tamah yang disertai acara makan bersama antara rombongan pihak pelamar lelaki dengan pihak perempuan. Kebiasaan ini lazim terjadi sebelum mengadakan proses pernikahan.

5. Upacara Sandhur

Selanjutnya adalah Upacara Sandhur yang sering juga dikenal dengan Dhamong Ghardam. Tradisi ini merupakan ritual masyarakat Madura dan Jawa Timur.

Ritual ini berupa tarian untuk memohon hujan, menjamin sumur agar penuh dengan air, menghormati makam keramat, membuang bahaya penyakit, dan menghindarkan musibah serta bencana.

Bentuk ritual ini berupa tarian dan nyanyian beriringan dengan musik. Gerakannya tidak lebih dari penyesuaian irama tubuh dengan gerakan tarian daerah setempat.

Dalam ritual ini sering terjadi beberapa peserta mengalami kesurupan. Sehingga pelaksanaannya membutuhkan pawang atau dukun sebagai mediator dalam berhubungan dan berdialog dengan makhluk alam lain.

Salah satu tempat yang biasa diadakan upacara Sandhur adalah persimpangan jalan. Tujuannya adalah untuk membuang pengaruh-pengaruh negatif.

Daerah dataran Madura bagian timur, seperti Batuputih, Pasongsongan, Guluk-Guluk, Desa Pakondang, Desa Daramista, dan Saronggi memiliki ritual sekaligus kesenian ini. Namun, bentuk ritualnya berbeda-beda.

Adat Sandhur merupakan bentuk tradisi yang mengandung berbagai paduan unsur budaya, yaitu budaya Hindu, Budha, Jawa, dan budaya Islam.

Hal tersebut terbukti dari syair-syair yang disenandungkan menggunakan bahasa Jawa kuno, bahasa Madura, dan bahasa Arab.

Meskipun memiliki tujuan yang sama, Sandhur dan Dhamong Ghardam rupanya memiliki perbedaan yang terletak pada prosesi pelaksanaannya.

Upacara Sandhur lebih mengedepankan unsur seni, dengan memadukan kepiawaian permainan musik, syair, dan gerakan tarian. Sementara Dhamong Ghardam lebih dominan dalam prosesi ritualnya.

6. Adat Istiadat Sepasaran di Jawa Timur

Upacara Sepasaran Jawa Timur adalah syukuran dari keluarga yang sudah memiliki momongan baru. Lebih tepatnya yaitu pada saat sang buah hati menginjak usia 5 hari.

Pihak keluarga yang merayakan akan membuat sebuah acara proses syukuran sebagai ungkapan tanda syukurnya karena telah dikaruniai momongan. Ada yang mengundang tetangganya dan sanak famili.

Namun meskipun ini termasuk adat istiadat Jawa Timur, tradisi ini juga terdapat pada masyarakat Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

7. Adat Upacara Dam Bagong di Jawa Timur

Upacara Dam Bagong merupakan salah satu upacara adat Jawa Timur, khususnya pada masyarakat Dam Bagong, Kelurahan Ngantru, Kabupaten Trenggalek.

Upacara ini berupa persembahan kepala kerbau yang dilarung ke bendungan Dam Bagong sebagai penghormatan terhadap seorang leluhur pahlawan tani, Ki Ageng Menak Sopal.

Dalam sebuah kisah, Ki Ageng Menak Sopal merupakan seorang pemuka agama yang berjuang menyebarkan Agama Islam di daerah Trenggalek. Selain itu, beliau juga pahlawan tani yang telah berjasa membangun pusat irigasi persawahan dan bendungan Dam Bagong.

Pelaksanaan upacara Dam Bagong ini diawali dengan penyembelihan satu ekor kerbau. Daging kerbau tersebut dibagikan kepada masyarakat. Adapun kepalanya akan dilarung ke Sungai Bagong.

Sebelum dilempar ke bendungan, potongan kepala kerbau tersebut dan beberapa tubuh lainnya akan diarak keliling kampung menuju makam Ki Ageng Menak Sopal.

Dengan upacara seperti ini, masyarakat setempat berharap agar wilayahnya senantiasa mendapatkan kedamaian dan ketenteraman.

8. Upacara Kebo-Keboan Banyuwangi

Kebo-Keboan adalah tradisi masyarakat Suku Osing (Using) yang mendiami beberapa wilayah Jawa Timur, tepatnya daerah kabupaten Banyuwangi.

Tradisi Kebo-Keboan sangat erat kaitannya dengan bidang pertanian. Tujuan upacara ini adalah untuk meminta kesuburan tanah, panen yang melimpah, serta terhindar dari malapetaka, baik yang menimpa tanaman maupun manusia.

Menurut cerita yang berkembang, tradisi Kebo-Keboan berawal ketika daerah Dusun Krajan mengalami <em>pagebluk</em>, yaitu munculnya berbagai hama penyakit yang menyebabkan matinya tanaman pertanian.

Untuk mengatasi bencana tersebut, seorang tokoh masyarakat bernama Buyut Karti melakukan sebuah ritual dengan cara menirukan perilaku seekor kerbau yang sedang membajak sawah.

Masyarakat setempat saat itu menganggap ritual tersebut mampu menjadi penghalau dari berbagai macam bencana yang menimpa Dusun Krajan.

Seminggu menjelang upacara Kebo-Keboan, biasanya masyarakat Dusun Krajan akan mengadakan kegiatan gotong royong membersihkan lingkungan rumah dan dusun.

Selanjutnya, sehari menjelang upacara, kaum ibu-ibu mempersiapkan sesajian yang terdiri dari tumpeng, peras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang, ingkung ayam, dan sebagainya.

Acara Kebo-Keboan dibuka dengan sebuah upacara sederhana di Petaunan yang dihadiri oleh panitia, para tokoh, dan beberapa warga Krajan.

Kemudian, upacara berikutnya adalah pawai ider bumi berkeliling Dusun Krajan menuju bendungan air yang terdiri dari para tokoh, seorang pawang, dua pasang, para pembawa sesajian, dan para pemain musik hadrah serta barongan.

Ketika sampai bendungan, jagatirta (petugas pengatur air) akan bergegas membuka bendungan sehingga air mengalir ke sepanjang jalan dusun yang sebelumnya telah ditanami palawija oleh para pemuda.

Sementara peserta upacara menuju area persawahan milik warga Dusun Krajan dan kebo-keboan mulai memperlihatkan perilakunya menyerupai seekor kerbau sedang membajak sawah dan berkubang.

Ketika mereka berkubang, sebagian peserta upacara turun ke sawah dan menanam benih padi. Setelah tertanam, para peserta yang lain segera berebut untuk mengambil benih padi yang baru saja tertanam tersebut.

Masyarakat setempat memiliki kepercayaan bahwa benih-benih tersebut dapat menolak bala, mendatangkan keberuntungan, dan sekaligus membawa berkah.

Pada saat para peserta memperebutkan benih tersebut, para kebo-keboan segera mengejar para pengambil benih yang sebagai pengganggu. Akan tetapi, kebo-keboan tersebut tidak sampai mencelakai karena telah dikondisikan oleh pawang.

9. Adat Grebeg Suro Ponorogo

<em>Grebeg Suro </em>adalah sebuah acara tradisi budaya pesta rakyat yang dilakukan tahunan oleh masyarakat Ponorogo. Berbagai kesenian dan tradisi ikut meliputi Festival Reog Nasional, Pawa Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka, serta Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel.

Acara ini biasa ada setiap tahun pada tanggal 1 Muharram atau 1 Suro menurut kalender Jawa. Momen ini merupakan kegiatan awal dalam menyambut Tahun Kunjungan Wisata Jawa Timur setiap tahun.

Rangkaian acara Grebeg Suro biasanya diawali dengan prosesi penyerahan pusaka ke makam bupati pertama Ponorogo. Lalu disusul dengan pawai ratusan orang menuju pusat kota dengan menunggang bendi dan kuda.

Selanjutnya, terdapat Festival Reog Nasional di alun-alun Kota Ponorogo. Puluhan grup reog di Jawa Timur, bahkan dari Kutai Kartanegara, Jawa Tengah, Balikpapan, hingga Lampung, turut tampil memeriahkan festival tersebut.

Dalam sejarahnya, acara Grebeg Suro Ponorogo ini berawal dari kebiasaan masyarakat, terutama kalangan warok, yang setiap malam 1 Suro mengadakan tirakatan semalam suntuk dengan mengelilingi kota dan berhenti di alun-alun Ponorogo.

Pada tahun 1987, Soebarkah Poetro Hadiwirjo sebagai bupati saat itu, melihat fenomena ini dan melahirkan gagasan kreatif untuk mewadahi kegiatan mereka dengan kegiatan yang mengarah pada pelestarian budaya.

10. Adat Istiadat Nakokake di Jawa Timur

Nakokake adalah sebuah upacara adat di Jawa Timur. Tradisi ini merupakan sebuah prosesi seorang laki-laki yang ingin melamar seorang gadis pujaannya dengan cara menanyakan, dalam Bahasa Jawa “Nakokake”.

Maksud menanyakan dalam hal ini adalah menanyakan kondisi status dari sang gadis pujaan hati apakah dirinya sudah memiliki pasangan pendamping atau belum.

Apabila sang wanita memberikan jawabannya bahwa dirinya belum memiliki calon suami, maka pihak lelaki akan meneruskannya dengan prosesi lamaran ke rumah sang gadis.

Upacara adat istiadat Nakokake Jawa Timur ini dilakukan dengan cara mengirimkan wakil atau utusan ke pihak keluarga sang gadis.

11. Temu Manten Pegon di Jawa Timur

Selanjutnya, adat istiadat Jawa Timur berikutnya adalah Upacara adat Temu Manten Pegon Jawa Timur. Adat ini adalah proses pertemuan antara pihak mempelai pengantin laki-laki dengan pihak mempelai pengantin perempuan.

Tradisi ini sangat terkenal di Kota Surabaya. Manten Pegon atau Pengantin Pegon merupakan pengantin yang dirias sedemikian rupa.

Riasan yang dilakukan merupakan akulturasi budaya antara Arab, Jawa, Belanda, dan China. Gabungan budaya tersebut menjadi warna dominan dalam busana para pengantin dan rombongan pengantin.

Saat prosesi pertemuan pengantin ini dilaksanakan dengan cara arak, yaitu mengarak pihak pengantin pria dan rombongan guna menjemput pengantin perempuan.

12. Upacara Larung Sembonyo

Larung Sembonyo adalah upacara adat sedekah laut yang telah ada secara turun temurun sejak zaman nenek moyang masyarakat lokal nelayan Pantai Prigi, Trenggalek, Jawa Timur. Tradisi tersebut merupakan bentuk ungkapan rasa syukur bagi masyarakat setempat atas hasil laut yang melimpah.

Selain itu, upacara ini juga merupakan bentuk permohonan akan keselamatan masyarakat nelayan Prigi ketika mencari ikan di laut.

Kebiasaan ini sudah sejak lama dan menjadi bagian dari kebudayaan Kota Trenggalek, terutama masyarakat pesisir Pantai Prigi.

Kisahnya, upacara Larung Sembonyo ini lahir dari cerita rakyat mengenai peristiwa gaib ketika seorang Tumenggung dan pasukannya melakukan babat alas atau perluasan wilayah di daerah tersebut.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, upacara Larung Sembonyo juga merupakan bentuk rasa hormat kepada leluhur yang telah membuka wilayah tersebut sebagai pemukiman.

Tumenggung Yudho Negoro dan keempat saudaranya dianggap tokoh penting sebagai orang yang pertama kali membuka lahan daerah tersebut.

Ketika tradisi ini tidak dilaksanakan, masyarakat akan merasakan ada sesuatu yang kurang. Masyarakat percaya bahwa apabila upacara adat ini tidak dilaksanakan, maka akan terjadi berbagai kesulitan, seperti gagal panen, tangkapan ikan yang sulit, wabah penyakit, hingga bencana alam.

Pada tahun 1985, upacara Larung Sembonyo ini berkembang kembali dan menjadi semakin besar, meskipun sebelumnya pernah berhenti karena kondisi politik yang kurang mendukung.

Sampai saat ini, tradisi ini telah menjadi agenda rutin warga Trenggalek dan merupakan bentuk pelestarian budaya Kabupaten Trenggalek.

13. Adat Istiadat Keduk Beji Jawa Timur

Upacara Keduk Beji adalah tradisi tahunan masyarakat Desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Upacara ini biasanya dilaksanakan setiap hari Selasa Kliwon menurut penanggalan Jawa-Islam.

Kata Mbah Wo Supomo selaku Juru Silep dan sesepuh Desa Tawun, tujuan upacara ini adalah untuk melestarikan adat budaya Desa Tawun yang ada sejak zaman dulu.

Inti dari upacara Keduk Beji adalah penyilepan dan penggantian kendi yang disimpan pada pusat sumber air Beji yang berada di dalam goa.

Menurut kepercayaan, kendi yang berada dalam sumber air Beji harus selalu diganti setiap tahunnya agar sumber air tetap terjaga kebersihannya.

Sumber air Beji yang berada di Taman Wisata Tawun merupakan sumber air yang begitu penting bagi masyarakat sekitar.

Upacara Keduk Beji dimulai dengan melakukan pembersihan kotoran dalam sumber air Beji. Seluruh warga Desa Tawun yang laki-laki akan turun ke sumber air untuk mengambil sampah dan dedauan yang menumpuk selama setahun terakhir.

Selama pembersihan tersebut, kaum laki-laki yang berada dalam sumber air tersebut menari dan melakukan tradisi saling pukul menggunakan ranting dengan iringan tabuhan gendang.

Kemudian, upacara berikutnya adalah penyiraman air legen ke dalam sumber air Beji dan penyeberangan sesaji dari arah timur ke barat sumber.

Upacara selesai dengan selametan dan makan bersama berkat dari gunungan lanang dan gunungan wadon yang sudah disiapkan bagi warga untuk memperoleh berkah.

14. Upacara Adat Kasodo di Jawa Timur

Upacara Kasodo adalah salah satu upacara adat Jawa Timur yang diselenggarakan setiap tahun pada bulan purnama. Tujuan upacara tersebut adalah memohon panen yang berlimpah atau meminta tolak bala dan kesembuhan atas berbagai penyakit.

Pada tradisi ini terdapat persembahan sesaji dengan melemparkannya ke kawah Gunung Bromo. Masyarakat Tengger lainnya harus berada pada tebing kawah dan meraih atau menangkap sesaji tersebut.

15. Adat Labuh Sesaji

Kemudian, adat istiadat Jawa Timur yang terakhir adalah Labuh Sesaji. Tradisi ini merupakan upacara adat tahunan Jawa Timur di Telaga Sarangan.

Tradisi ini berlangsung pada bulan Ruwah, hari Jum’at Pon. Tujuannya adalah sebagai ucapan terima kasih dari masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Masyarakat Jawa Timur beranggapan Telaga Sarangan merupakan hadiah dari Tuhan. Telaga tersebut dianggap mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat Magetan khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Nah, demikianlah penjelasan tentang adat istiadat Jawa Timur. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan buat kamu ya.

See you!

Sumber: berbagai web tentang budaya

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top